Dalam bacaan Injil (Matius 5:13-16) di Minggu biasa V ini mau menegaskan tentang tanda dan identitas kita sebagai murid Yesus. Ini bukan hanya sekedar afirmasi atau sebuah pernyataan biasa atau hanya sekedar basa basi dan juga bukan sekedar isyarat. Pernyataan ini mengacu pada tiga prioritas dalam menentukan pilihan hidup bagi kita.
Pertama : Menjadi garam dan terang dunia perlu kita renungkan dalam konteks dimana kita berada dan waktu dimana kita ikut berperan serta. Untuk itu marilah kita mencermati apa artinya menjadi garam dan terang dunia dalam kehidupan berbangsa kita.
Kehidupan berbangsa memang berada dalam slogan menjaga kesatuan NKRI sebagai harga mati. Upaya pemimpin bangsa ini mulai dari pusat hingga ke daerah-daerah tetap membawa dan mengobarkan semangat NKRI ini. Namun tetaplah disadari bahwa masih ada celah dimana orang yang merasa tidak diposisikan pada tempat yang menguntungkan secara sosial, ekonomi, moral, dan politik, akan menawarkan gagasan yang menggelapkan ide cemerlang NKRI harga mati tersebut.
Jika itu terjadi maka itu seperti apa yang dikatakan Yesus dalam Injil; "Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang." Atau perumapamaan tentang meletakan pelita dibawah kaki dian. Tidak ada gunanya karena tidak akan menerangi seluruh ruangan. Proses tawar menawar untuk menggelapkan kondisi hidup berbangsa, berbanding terbalik dengan seruan Yesus. Maka bagi kita yang menamakan diri sebagai pengikut Kristus, mari kita membaca konteks kehidupan NKRI dan mengambil peran untuk tidak turut dalam menggelapkan atau menawarkan aksi yang menggelapkan dan meresahkan kehidupan berbangsa di tanah air ini.
Sama halnya dengan kebebasan beragama yang telah diatur dalam UUD 1954 pasal 29. Namun tetap saja ada kekecewaan, kecemasan, ketakutan yang menghantui penganut agama lantaran sikap tidak saling menghargai antar sesama. Sikap ini juga dapat membuat hati menjadi tawar dan dengan demikian tidak akan ada suka cita yang dirasakan dalam merajut kebersamaan.
Kita juga tentunya tahu apa artinya kehidupan yang beradab dan berbudaya. Dimana orang yang beradab pasti memiliki rasa kemanusiaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya. Inti dari setiap budaya adalah memperjuangkan dan menjunjung tinggi nilai kehidupan. Untuk itu tidak ada pilihan lain selain menghargai kehidupan, bukan mematikan dan bukan pula menjadikan hidup ini datar dan tawar tanpa rasa kemanusiaan.
Prioritas yang kedua dalam menentukan pilihan hidup adalah keharusan yang mendesak. Kita harus menjadikan hidup ini berarti dan bermakna. Oleh karena itu hendaknya kita memancarkan cahaya terang bagi orang lain. Kita harus memerangi bentuk aksi yang menggelapkan dan mengaburkan makna hidup. Kita tidak bisa membiarkan bahkan hanya melihat kegelapan dan kegelisahan menimpa orang lain, melainkan segera mengambil langkah yang strategis untuk memerangi kegelapan dan memancarkan terang yang memberikan harapan untuk hidup.
Dan prioritas terakhir adalah identitas kita. Ketahuilah bahwa kata-kata Yesus "Kamulah garam dan terang dunia" adalah identitas yang melekat dalam diri kita sebagai murid Yesus. Ini bukan hanya menjadi sebuah tempelan atau tambalan melainkan pokok yang melekat dan menyatu dalam diri kita sebagai bagian dari kemuridan. Kita memang berada di dunia namun kita bukan dari dunia ini, karena hidup kita didunia akan berakhir. Akan tetapi selagi kita masih di dunia ini marilah kita menunjukan identitas untuk menggami/mengasinkan dan memancarkan cahaya bagi dunia agar semua orang penuh dengan harapan yang ceria.
Selamat hari Minggu. Tuhan memberkati kita semua.(AB-YVDW)